FREE
WILL DAN PREDESTINATION
A. QADARIYAH
Secara
Etimologi kata Qadariyah berasal dari kata “ qadara “ yang berarti memutuskan
dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Para ahli
berbeda pendapat mengenai kapan munculnya aliran Qadariyah dan tentang kapan
munculnya aliran ini tidak dapat di ketahui secara pasti, namun ada beberapa
ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan paham khawarij. Pemahaman
mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran
bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri, baik
atau buruk. Hal ini terlihat dalam pokok pikiran Qadariyah yang lebih
menekankan pada kebebasan dan kekuatan manusia dalam menentukan atau mewujudkan
perbuatan - perbuatannya tanpa ada campur tangan Tuhan. Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan
dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya, paham ini dikenal juga dengan free will ·: Tokoh
utama aliran ini adalah Mabad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi , kedua tokoh inilah yang pertama kali
mempersoalkan tentang qadar, namun keduanya juga mati terbunuh. Konsepsi
tentang perbuatan manusia pada zaman dahulu pernah menjadi perdebatan yang
begitu hebat di dunia Islam. Begitu hebatnya perdebatan itu, sehingga mengakibatkan
pembunuhan terhadap para aktifisnya. Seperti yang dialami oleh Mabad al Juhani
dan Ghailan al Dimasyqi yang menyebar luaskan paham free will. Dalam
ranah pemikiran Islam perbuatan manusia di interpretasikan oleh dua aliran yang
paradoks. Pertama, ada yang memandangnya sebagai kehendak bebas manusia.
Bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu adalah diciptakan manusia sendiri.
Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia bisa lakukan. Sebaliknya, yang tidak
diinginkan, dia bisa saja untuk tidak melakukannya. Kedua, bagi kelompok
ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah swt.
Bagi kelompok ini, manusia tidak bisa berbuat apa-apa, manusia tidak
memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah dikendalikan
Allah swt. Aliran pertama ini, dalam pemikiran Islam dikenal dengan
sebutan Qadariyah. Sementara yang kedua disebut Jabariyah. Aliran
Qadariyah lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbutan - perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
1.
SEJARAH
LAHIRNYA QADARIYAH
Mazhab
Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H ( 689M ).
Ajaran - ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu·tazilah. Mereka berpendapat sama
tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan
tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala
sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt. Tokoh utama Qadariyah ialah Ma·bad al - Juhani dan Ghailan al - Dimasyqi, kedua
tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa
hidupnya, Ma·bad al - Juhani berguru pada Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin Atha· ; tokoh
pendiri Mu·tazilah, Jadi, Ma’badtermasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah
Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di
Damaskus. Ia seorang ahli pidato
sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan
pendapatnya. Ayahnya menjadi maula ( pembantu ) Utsman bin Affan. Kedua tokoh
Qadariyah ini mati terbunuh, Ma·bad al – Juhani
terbunuh dalam pertempuran melawan al - Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam
dunia politik dengan mendukung Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats,
menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al - Dimasyqi dihukum bunuh
pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik ( 105 - 125 H / 724 - 743 M ),
yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan
dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai
membahayakan pemerintah. Ghailan selalu gigih dalam menyiarkan paham Qadariyah
di Damaskus sehingga mendapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis sekitar
tahun ( 717 - 720 M ). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan
aktivitasnya hingga Umar wafat dan digantioleh Yazid II ( 720 - 724 M )
Ditinjau
dari segi politik, keberadaan Qadariyah
merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah sebab dengan paham yang diseberluaskannya
dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia
mewujudkan perbuatannya dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan
dinasti Bani Umayyah yang negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda
dengan paham Murji’ah yang menguntungkan pemerintah. Karena kehadiran Qadariyah
merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah,
aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap
berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam paham Mu’tazilah.
2. POKOK
– POKOK PAHAM QADARIYAH
Harun Nasution menjelaskan
pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh
an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia
dapat berkuasa atas segala perbuatannya. Dengan demikian bahwa segala tingkah
laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan
untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik
maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas
kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan
surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di
akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir
Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya
sesuai dengan tindakannya. Faham takdir
yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai
oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan
demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta
beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran
adalah sunnatullah. Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir
yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat berbuat
lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan
tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas.
Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa
barang seratus kilogram. Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk
menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di
antara dalil yang mereka gunakan adalah
banyak ayat - ayat Al-quran yang berbicara dan mendukung paham itu :
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ tbqè=yJ÷ès? îŽÅÁt ÇÍÉÈ
Artinya
: “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari
Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang
mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁ•B ô‰s% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4’¯Tr& #x‹»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB
ωYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« փωs% ÇÊÏÎÈ
Artinya : “dan mengapa ketika kamu
ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan
dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata:
"Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari
(kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î 3
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak
merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan ( Tuhan tidak akan
merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merubah sebab - sebab kemunduran
mereka.) yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
Menurut
Harun Nasution yang dikutip dari pernyataan Ghailan bahwa dengan adanya paham
Qadariyah ini dapat membuat manusia
menjadi lebih kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, selalu ingin
maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
B. JABARIYAH
Secara Bahasa Jabariyah berasal
dari kata “ jabara “ yang mengandung
pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan
sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha
Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan
dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain
adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Aliran muncul di masa Pemerintahan Bani Umayyah
berkuasa, kondisi sosiologis masyarakat sangat mendukung sehingga
kelompok ini muncul. Faham ini dikenal dengan sebutan Fatalism atau Predestination
Menurut
Harun Nasution Jabariyah adalah paham
yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula
oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang
dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan
dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang
lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra
menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika
itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika
berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran
ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm ibn Safwan, yang bersamaan
dengan munculnya aliran Qadariayah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham
ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab.
Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan
pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik
matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat
tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi
yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi
panasnya musim serta keringnya udara. Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan
disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa
lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalism /
predestination
1. SEJARAH LAHIRNYA JABARIYAH
Kaum Jabariyah diduga lebih
dahulu muncul dibandingkan dengan kaum Qadariyah, karena Jabariyah nampaknya
sudah dapat diketahui secara jelas ketika
Mu·awiyah
Ibn Ali Sofyan ( 621 H ) menulis sebuah surat kepada al Mughirah ibn Syu·bah ( salah
seorang sahabat Nabi ) tentang doa yang selalu dibaca Nabi, lalu Syu·bah
menjawab bahwa doayang selalu dibaca setiap selesai shalat adalah yang artinya
sebagai berikut :
“ Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu baginya,
Ya Allah tidak adasesuatu yang dapat menahan apa - apa yang Engkau telah
berikan, tidak berguna kesungguhan
semuanya bersumber dari-Mu´
( H.R Bukahri )
Dilihat dari segi pendekatan
kebahasaan, Jabariyah berarti keterpaksaan artinya suatu paham bahwa manusia
tidak dapat berikhtiar. Atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah fatalism atau predestination yaitu ( segalanya
ditentukan oleh Tuhan ) Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan
sesuatu bagi manusia sangat dominan, karena segala perbuatan manusiatelah ditentukan semula oleh Tuhan. Adapun
tokoh utama munculnya paham Jabariyah ada dua orang yakni : Ja·ad Ibn Dirham ( wafat
124 H ) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham in
disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya paham Jabariyah
menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah. Jahm
Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di
merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah( Iraq ). Aliran ini lahir di
Tirmiz ( Iran Utara ) dan Jahm ibn Shafwan pada waktu itu terkenal sebagai
seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudahditerima oleh orang lain. Perlu dicatat bahwa Jahm ibn Shafwan
juga mempunyai hubungan kerja dengan al Harits ibn Suriah yakni sebagai
sekretarisyang menentang kepemimpinan Bani Umayyah di Khurasan. Perlawanan
al Harits dapat dipatahkan, sehingga ia sendiri dijatuhi hukuman mati pada tahun ( 128 H / 745 M )
Sementara
itu Jahm Ibn Safwan diperlakukan sebagai
tawanan yang pada akhirnya juga dibunuh. Pembunuhan pada dirinya bukan karena
motif mengembangkan paham Jabariyah, tetapi karena keterikatannya dangan
pemberontakan melawan pemerintahan Bani Umayyah bersama dengan al Harits.
Pembunuhan
Jahm Ibn Shafwan kurang lebih dua tahun setelah kematian al Harits yakni pada (
747 M ), yang pada saat itu pemerintah Bani
Umayyah dipimpin oleh Khalifah Marwan bin Muhammad ( 744 – 750 M
)
2. POKOK
– POKOK PAHAM JABARIYAH
Pokok
– Pokok paham ajaran Jabariyah sangat bertolak belakang dangan paham Qadariyah.
Menurut paham Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan
untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya
adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala
atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya.
Paham bahwa perbuatan yang dilakukan
manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan
siksa. Dalam Al-quran sendiri banyak terdapat ayat - ayat yang menunjukkan
tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya adalah:
a.
QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur öä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya : “Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”
b. QS al-Anfal: 17
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |Mø‹tBu‘ øŒÎ) |Mø‹tBu‘ ÆÅ3»s9ur ©!$# 4’tGu‘ 4 u’Í?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB
¹äIxt $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ìì‹ÏJy™ ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ
Artinya : “ Maka ( yang sebenarnya )
bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan
bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
( Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka ) dan untuk memberi
kemenangan kepada orang - orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
c.
QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJ‹Å3ym ÇÌÉÈ
Artinya
: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Selain ayat-ayat Al-quran di atas
benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya
yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk
memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran
tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah
menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan
telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali
dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua
jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri
dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya
tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu
bertanya,"apabila perjalanan ( menuju perang siffin ) itu terjadi dengan
qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali
menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan
siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah
paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah,
dan
tidak pujian bagi orang yang baik dan
tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabar telah mengemuka
kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar
yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah
pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari
pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen
bermazhab Yacobit.Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah
dapat dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari pemahaman
ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai
paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh
dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham
ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah,
keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian
menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin
Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa
kepada Tasybih. Pokok – pokok ajaran mazhab Jabariyah sendiri dibagi
menjadi dua aliran, yaitu :
a.
Aliran Ekstrim
Di
antara tokoh penganut aliran ekstrim jabariyah ini adalah Jahm bin Shofwan
dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia
tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai
pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan
dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan,
meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak
kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah
ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang
dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak
mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat,
dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah
atau Jabariyah Khalisah. Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang
ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu
yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat
yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa
oleh Allah dalam segala hal. Dengan demikian ajaran Jabariyah yang
ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan
dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana
dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia
tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan
buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan
ketentuan Allah.
2. Aliran Moderat
Ajaran Jabariyah yang moderat
adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif,
tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak
dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula
menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan
tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar
yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi
manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu
dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar ( tokoh
jabariayah moderat lainnya ) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan
indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
C. Free-will
dan Predestination
Mungkin
terbersit pertanyaan, apa hubungannya free will dan Predistintion dengan
Qadariyah dan Jabariyah, sehingga kedua aliran tersebut dijadikan acuan dalam
pendahuluan. Menurut Harun Nasution yang kemudian diikuti Dr. Hasan Zaini, Qadariyah
dalam isitlah inggrisnya dikenal dengan nama free will, sedangkan Jabaiyyah
dikenal dengan sebutan predestination atau fatalism. Dengan
demikian, terdapat hubungan yang erat sekali antara istilah-istilah itu. Namun,
disini yang akan dibicarakan bukan mengenai kedua aliran itu melainkan nilai dan fahamnya. Lagi pula, baik
Qadariyah ataupun Jabariyah keduanya itu lebih cenderung merupakan kelompok
politik ketimbang aliran pemikiran murni (Madzhab). Menurut
kalangan rasionalis Islam, yang dimotori Mu’tazilah, manusia mempunyaidaya yang
besar lagi bebas. Mu’tazilah sebagaimana dikatakan al-Syahratsani, bersepakat
bahwa manusia mampu menciptakan perbuatan-perbuatannya, baik itu perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Karenanya, manusia, menurut mereka, berhak mendapatkan
upah dan siksaan terhadap apa yang dilakukannya di akhirat nanti. Tuhan itu
bersih dari penyandaran keburukan dan kedzaliman, dari kekufuran dan
kemaksiatan. Seandainya kedzaliman itu diciptakan Tuhan, berarti Dia dzalim. Paham
Mu’tazilah yang memberikan kebebasan dan berkuasanya manusia, akan lebih jelas
lagi jika kita merujuk pernyataan para tokohnya. Wasil bin Atha misalnya. Dalam
masalah ini, pendiri Mu’tazilah ini banyak persamaan dengan Ma’bad al-Juhani
dan Ghilan al-Dimsyaqi. Menurut Wasil bin Atha, Allah swt itu adil.
Tidak boleh menyandarkan kejelekan dan kedzaliman kepadaNya, dan tidak boleh ( Dia
) berkehendak agar hambanya menyelesihi perintahNya. Tuhan harus mengadili
mereka kemudian membalas mereka atas perbuatan-perbuatannya. Maka hamba, kata
Washil bin Atha, adalah yang mengerjakan kebaikan dan keburukan. Begitu juga
iman, kufur, ta’at dan ma’siat itu pilihan manusia. Senada dengan Washil, al-Juba’I juga
mempunyai pandangan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.
Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas
kemauannya sendiri. Dan daya ( al-Isthitha’ah ) untuk mewujudkan
kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Begitu
juga dengan al-Qadh Abd al-Jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia bukanlah
diciptakan Tuhan pada diri manusia. Tetapi, manusia sendirilah yang
mewujudkannya. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat
baharu. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih. Tuhan, menurut Abd
al-Jabbar, tidak akan menyiksa atau memberi pahala kepada seseorang berdasar
kehendak mutlak-Nya, tetapi karena amal yang dilakukannya.
Dalam
pengertiannya sebagai suatu tindakan, amal yang dilakukan seseorang terjadai
karena pilihan bebasnya. Karena itu, menjai mukmin atau kafir bukanlah
ditetapkan oleh kehendak mutlak Tuhan, tetapi merupakan pilihannya sendiri.
Akan tetapi, agar pilihan tersebut berjalan adil pula, Allah wajib
menurunkan petunjuk, aturan, dan mengirim nabi-nabi dengan membawa
peringatan. Jika semua itu telah diberikan Tuhan, maka manusia dipersilahkan
memilih menjadi iman atau kafir. Dari
beberapa keterangan tokoh Mu’tazilah di atas, jelaslah bahwa manusia dalam
pandangan Mu’tazilah adalah pencipta perbuatannya. Kehendak berbuat adalah
kehendak manusia. Jika kita perhatikan, pandangan Mu’tazilah dalam masalah ini
hamper mirip, untuk tidak mengatakan sama, dengan pandangan Qadariyah.
Karenanya, tidaklah mengherankan jika ada yang menyebut Mu’tazilah itu adalah
Qadariyah. Bahkan Fazlur Rahman menyebut Mu’tazilah sebagai aliran bentukan
dari pengembangan Qadariyah. Meskipun demikian, sebenarnya dari awal Mu’tazilah
menolak stigma tersebut. Sebagaimana disebut Syahratsani, bagi Mu’tazilah
sebutan Qadariyah itu lebih tepat diberikan kepada orang yang percaya Qadar Tuhan,
baik dan buruknya. Sedangkan Mu’tazilah itu menganut paham ikhtirariyyah (pilihan
bebas). Kembali pada kehendak manusia. Menurut Harun Nasution, dari pemaparan
para tokoh Mu’tazilah di atas, tidak dijelaskan apakah daya yang dipakai untuk
mewujudkan perbuatan itu adalah juga daya manusia sendiri, bukan daya Tuhan.
Dalam hubungan ini, demikian Harun Nasution, perlu kiranya ditegaskan bahwa
untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk
melaksanakan kehendak itu dan kemudian barulah terwujud perbuatan. Harun
kemudian menyimpulkan, bahwa bagi Mu’tazilah ternyata daya untuk mewujudkan itu
adalah daya manusia bukan daya Tuhan. Ini bisa dilihat dari pernyataan Abd
al-Jabbar sendiri. Menurutnya, yang dimaksdu dengan “Tuhan membuat manusia
sanggup mewujudkan perbuatannya” ialah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam
diri manusia dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan yang telah dibuat
manusia. Tidaklah mungkin bahwa Tuhan dapat mewujudkan perbuatan yang telah
diwujudkan manusia. Untuk mendukung pendapatnya ini, al-Jabbar kemudian
memberikan argument rasional. Manusia, kata al-Jabbar, dalam berterima kasihnya
kepada manusia atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima
kasihnya kepada manusia yang berbuat baik itu pula. Demikian pula, dalam
melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang
diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu.
Lebih
lanjut lagi ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesame manusia.
Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan
manusia , perbuatan itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian
bersifat dzalim. Hal ini tidaklah mungkin, tidak bisa diterima akal. Abd
al-Jabbar tidak hanya menyodorkan argument rasional, tetapi dia juga
menggunakan argument naqliyah (al-Quran) untuk menguatkan pendapatnya.
Dalil Naqliyyah yang dipakai Abd al-Jabbar dan kebanyakan Mu’tazilah di
antaranya adalah; Qur’an Surat. al-Baqarah ayat 108 :
÷Pr&
crßÌè?
br&
(#qè=t«ó¡n@
öNä3s9qßu
$yJx.
@Í´ß
4ÓyqãB
`ÏB
ã@ö6s%
3
`tBur
ÉA£t7oKt
tøÿà6ø9$#
Ç`»oÿM}$$Î/
ôs)sù
¨@|Ê
uä!#uqy
È@Î6¡¡9$#
ÇÊÉÑÈ
Artinya : “ Apakah kamu menghendaki untuk
meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman
dahulu? dan Barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, Maka sungguh orang
itu telah sesat dari jalan yang lurus “.
Qur’an Surat Ali Imran ayat 133 :
* (#þqããÍ$yur
4n<Î)
;otÏÿøótB
`ÏiB
öNà6În/§
>p¨Yy_ur
$ygàÊótã
ßNºuq»yJ¡¡9$#
ÞÚöF{$#ur
ôN£Ïãé&
tûüÉ)GßJù=Ï9
ÇÊÌÌÈ
Artinya : “ dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa “
Qur’an Surat an-Nisa ayat 7 :
ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
tbqç/tø%F{$#ur
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
cqç/tø%F{$#ur
$£JÏB
¨@s%
çm÷ZÏB
÷rr&
uèYx.
4
$Y7ÅÁtR
$ZÊrãøÿ¨B
ÇÐÈ
Artinya : “ bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan “.
Begitulah
pandangan Mu’tazilah tentang kehendak dan perbuatan manusia. Bagi Mu’tazilah
perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi adalah perbuatan manusia
sendiri, dan seperti kata Asy’ari, perbuatan manusia dalam arti kata sebenarnya
dan bukan dalam arti kata kiasan. Dengan kata lain, manusia adalah pencipta (khaliq)
perbuatan-perbuatannya. Ini jelas sekali bertentangan dengan Ijma’ ulama
tentang tidak adanya pencipta kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Karena
inilah, lawan-lawannya menuduh mereka mempunyai paham syirik atau
polytheisme. Bahkan al-Asy’ari dan al-Maturudi menuduhnya tidak lagi
membutuhkan Tuhan. Berbeda dengan Mu’tazilah, al-Asy’ari, kata Harun Nasution,
memandang lemah manusia. Karenanya, al-Asy’ari lebih dekat kepada paham
Jabariyah. Manusia dalam kelamahannya banyak bergantung kepada kehendak dan
kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan
kewamauan dan kekuasan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-Kasb (acquisition,
perolehan). Dalam kitabnya al-Maqalat,
sebagaimana dikutip Harun Nasution, Arti al-kasb menurut al-Asy’ari,
ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan
demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya
perbuatan itu timbul. Di kitabnya yang lain, al-Luma, al-Asy’ari juga
memberi penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-Kasb ialah
bahwa sesuatu timbul dari al-Muktasib (acquirer, yang memperoleh)
dengan perantaraan daya yang diciptakan. Tentang teori al-Asy’ari di atas,
Harun Nasution memberi komentar. Menurutnya, term-term “diciptakan” dan
“memperoleh” mengandung arti kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan
dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas
perbuatan-perbuatannya. Kata-kata timbul dari yang memperoleh membayangkan
kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau perolehan mengandung arti
keaktifan dan dengan demikian tangggung jawab manusia atas perbuatannya. Tetapi
keterangan bahwa kasb itu adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti
keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam
perbuatan-perbuatannya. Pendapat al-Asy’ari seperti di atas, dapat dilihat dari
urainnya mengenai perbuatan-perbuatan involunter dari manusia. Dalam perbuatan-perbuatan
involunter, kata al-Asy’ari, terdapat dua unsure; ( pertama ) penggerak yang
mewujudkan gerak dan ( kedua ) badan yang bergerak. Penggerak dalam hal ini
maksudnya adalah Tuhan, sedangkan yang bergerak maksudnya adalah manusia. Yang
bergerak bukanlah Tuhan, sebab, gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani,
sedangkan Tuhan tidak mempunyai bentuk jasmani. Dari sinilah kemudian
al-Asy’ari mengemukakan teori kasbnya. Menurutnya, al-Kasb juga
serupa dengan gerak involunter, yakni mempunyai dua unsure; ( pertama ) pembuat
( Tuhan ) dan ( kedua ) yang memperoleh perbuatan (manusia).
Pembuat
yang sebenarnya dalam kasb adalah Tuhan, sedangkan yang memperoleh
perbuatan adalah manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan, karena
kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan, dan Tuhan tidak mungkin
mempunyai daya yang diciptakan. Menurut Harun Nasution, jika dilihat uraian
al-Asy’ari di atas, jelaslah sebenarnya tidak ada perbedaan antara perbuatan
involunter dan al-kasb. Dua-duanya merupakan dari Tuhan. Tuhanlah yang menjadi
pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Manusia hanyalah sebagai
tempat mewujudkan dan berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Jika demikian, kata
Harun, kasb, sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan involunter,
merupakan perbuatan paksaan dan perbuatan di luar kekuasaan Tuhan. Namun, bagi
al-Asy’ari, demikian Harun Nasution, kadua hal itu berbeda. Dalam perbuatan
involunter, manusia terpaksa melakukan sesuatu yang tidak dapat dielakkannya,
walau bagaimanapun ia berusaha, namun dalam al-kasb paksaan yang
demikian tidak teradapat.. Gerak manusia yang berjalan pulang pergi berlainan
dengan gerak manusia yang menggigil karena demam. Meskipun keduanya sama-sama
mengandung unsur gerak, namun tetap saja berbeda. Dalam hal yang pertama
terdapat daya yang diciptakan, sedangkan dalam hal yang kedua terdapat
ketidakmampuan. Karena dalam hal pertama teradapat daya, kata Asy’ari,
perbuatan itu tidak dapat disebut paksaan; kepadanya diberi nama al-kasb.
Begitupun, kedua perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan.
Di
sini belum jelas, daya yang menyebabkan manusia mewujudkan perbuatan itu apakah
bersatu dengan diri manusia atau tidak? Apakah daya itu ada sebelum perbuatan
atau ada bersama-sama perbuatan? Menurut al-Asy’ari, daya itu lain ( berpisah )
dari diri manusia sendiri, karena manusia terkadang berkuasa dan terkadang
tidak berkuasa. Daya tidak terwujud sebelum adanya perbuatan; daya itu ada
bersama-sama dengan adanya perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan
yang bersangkutan saja. Dalam paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan
perlu ada dua daya; daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan
yang efektif pada ahirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan. Itu
argument-argumen al-Asy’ari secara rasional. Al-Asy’ari menggunakan dalil
al-Quran untuk menguatkan teologinya. Alasan al-Asy’ari berpendapat bahwa
perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan didasarkan pada Qs. al-Shaffat ayat 96 :
ªª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur
tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÏÈ
Wa
ma ta’malun dalam ayat di atas diartikan al-Asy’ari
“dan apa yang kamu perbuat”. Jadi, secara global ayat itu diartikan “Dan
Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat”. Dalam edisi
al-Quran terjemah Indonesia juga artinya sama seperti itu. Jika merujuk pada kitab
tafsir bi al-Maksur, misalnya Tafsir al-Quran al-‘Adzim, karya Ibnu
Katsir, maknanya juga hampir sama dengan yang diungkapkan al-Asy’ari. Ketika
menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat Bukhari dalam kitab Af’al
al-Ibad yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama
bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’aala adalah pencipta setiap pembuat
(pekerja) dan perbuatannya (pekerjaannya).
Namun,
karena argument inilah al-Asy’ari banyak mendapat kritikan. Fazlur Rahman misalnya.
Dia mengkritik al-Asy’ari baik karena argument naqlinya ini, ataupun
teorinya tentang kasb (acquire, memperoleh). Tentang isitlah al-Kasb
yang digunakan al-Asy’ari, pernyataan Rahman sangatlah menarik. Menurut
Rahman, al-Asy’ari ketika ditanya mengapa ia menggunakan kata acquire daripada
kata do berkenaan dengan manusia. Jawaban al-Asy’ari, sebab al-Quran pun
begitu. ( padahal ) al-Quran, kata Rahman, tentu, dengan jelas menggunakan kata
“do” (fa’ala) dan “perform” (‘amala) berkenaan
dengan manusia. Sementara istilah al-Kasb oleh al-Quran agak jarang
digunakan. Al-Quran tampak mengunakan istilah ini ketika ingin menegaskan
tidak hanya menunjukkan perbuatan tetapi membangkitkan rasa tanggung jawab
terjadap perbuatan manusia, baik atau buruk. Karena itu, demikian Rahman,
al-Asy’ari pasti melakukan penekanan terhadap makna al-Quran di sini. Sedangkan
mengenai interpretasi al-Asy’ari terhadap Qs. al-Shaffat:96, disini pernyataan
Rahman juga sangat menarik. Kata Rahman, interpretasi al-Asy’ari terhadap ayat
itu merupakan usaha yang sangat rasional untuk membuktikan bahwa Tuhan
menciptakan perbuatan manusia. ( padahal ) Ini merupakan bagian pembicaraan
Ibrahim kepada orang-orang yang menyembah berhala. Saat itu, Ibrahim berkata
pada mereka; “Apakah kamu menyembah apa yang kamu bentuk ( pahat )? Jelas, kata
Rahman, bahwa ayat ini juga menyatakan bahwa Ia-lah Tuhan yang telah
menciptakan kamu dan berhala-berhala yang telah kamu buat itu. Tetapi
al-Asy’ari, demikian Rahman, mengganti kata-kata “apa yang kamu buat” dengan
kata-kata “apa yang kamu lakukan”. Dalam bahasa Arab, wa maa ta’malun, sangat
rentan terhadap dua penafsiran. Tetapi secara jelas, konteks itu melawan
interpretasi Asy’ari. Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh
Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa
ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu
wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala
itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan
kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia. karenanya,
bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu
merupakan perbuatan murni manusia.
Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini
mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah subhanahu wa ta’ala. Di
lain sisi, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan
bertentangan, Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak
secara Mutlak. Dia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa
saja memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga
dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga terjebak. Dia,
disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan hikmahNya. Mungkin
perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan memberi takanan kuat pada
prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah mengorbankan tauhid af’al, tetapi
dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah
mengorbankan prinsip keadilan. Begitulah teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah
tentang free will dan predestination. Bagaimana dengan aliran
lainnya? Bagi golongan Maturidiyah, perbuatan manusia adalah juga ciptaan
Tuhan. Manusia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Sebelum berbuat, manusia
memiliki kekuatan tertentu, yang termasuk kekuatan fisik dimana ia diberi.
Tetapi untuk perbuatan actual, kekuatan alamiah ini disempurnakan dengan
kekuatan lain, karena itu perbuatan itu perlu dan dengan serta mengikuti.
Kekuatan kedua ini diciptakan oleh Tuhan melalui agen pada saat perbuatan. Pendapat
Maturidi tersebut ada kemiripan dengan Asy’ariyah. Namun, substansi keduanya
agak berbeda. Bagi Maturidi, yang namanya perbuatan itu ada dua, [pertama]
perbuatan Tuhan dan [kedua] perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk
penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan
perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Jadi tidak
sebelum perbuatan seperti dikatakan Mu’tazilah. Perbuatan manusia, bagi Maturidi,
adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan.
Pemberian upah dan hokum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan
demikian, manusia diberi hukaman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah
atas pemakaian yang benar dari daya. Menurut Harun Nasution, Al-Maturidi
menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu
merupakan daya manusia, seperti dijelaskan Mu’tazilah ataukah daya Tuhan
seperti disebut Asy’ariyah. Berpegang kepada pndapatnya bahwa daya adalah yang
diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan
manusia dalam arti sebenarnya, daya untuki berbuat itu tak boleh tidak mestilah
daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai
perbuatannya senidri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu.
Kaum Asy’ariyah, karena memandang perbuatan adalah perbuatan Tuhan, tidak
berani memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan manusia yang sebenarnya. Mengenai
soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti
bahw kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan
maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya pilihan dalam memakai
dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat
mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada dibawah paksaan daya
yang lebih kuat dari dirinya. Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran
Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun Bukhara, kemauan manusia adalah
sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud
atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. dan ini selanjutnya
mengandung arti paksaan atau fatalisme dan bertentangan dengan paham
al-Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai
pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini paham masyi’ah atau
kemauan dan ridha atau kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik
dan buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati
Tuhan. Tuhan tiadak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik
atas kehendak dan kerelaan hati Tuhan; sebaliknya betul manusia berbuat buruk
atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan. Bagaimana dengan
Syi’ah? Sebenarnya agak sulit untuk mengetahui bagaimana pandangan mereka
terhadap free will dan predestination. Sebab, mereka sendiri
sudah terpecah-pecah dalam berbagai kelompok dan masing-masing mempunyai
keyakinan yang berbeda. Namun, pembahasan sepintas secara umum mungkin akan
memberi sedikit gambaran pada kita konsepsi mereka tentang masalah ini.
Al-Asy’ari
dalam bukunya, Maqaalaat al-Islamiyyiin wa ikhtilaf al-Mushallin, menyebutkan
beberapa pendapat Syi’ah Rafidhah tentang masalah perbuatan manusia. Sediktinya
ada tiga pendapat yang berbeda-beda. Pertama; kelompok pertama ini ialah
para pengikut Hisyam bin al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa
perbuatan seorang hamba Allah itu diciptakanNYa. Ja’far bin Harb menceritakan,
bawa Hisyam bin al-Hakam menyatakan: “sebenarnya dari satu segi perbuatan
manusia ini merupakan daya (ikhtiyar) manusia itu sendiri, karena dia
itulah yang menghendaki dan mengusahakannya, tetapi dari segi lain perbuatan
manusia ini pun merupakan sesuatu yang dipaksakan Allah terhadap dirinya,
karena perbuatan manusia itu sebenarnya mustahil terjadi selain dengan adanya
sebab yang menggerakkan ataupun mendorong kea rah terjadinya perbuatan manusia
tersebut. Pendapatnya ini mirip dengan aliran Maturidiyah. Karenanya,
Fazlur Rahman menyebut ide Hisyam bin Hakam ini sebanding dengan pandangan
Maturidi. Kedua; kelompok ini beranggapan bahwa manusia itu tidak bebas
dan selalu dalam keadaan terpaksa, sebagaimana anggapan para pengikut aliran jahmiyyah,
tetapi manusia itu pun tidak boleh hanya berserah diri saja, sebagaimana
anggapan para pengikut aliran Mu’tazilah. Ketiga; yang ketiga ini
beranggapan bahwa perbuatan hamba Allah itu bukan diciptakan Allah. Yang
beranggapan seperti ini, kata Asy’ari, muncul dari mereka yang memisahkan diri
serta menetapkan adanya kepemimpinan. Yang terakhir ini memiliki kemiripan
dengan teologi Mu’tazilah. Menarik untuk ditelusuri mengapa terjadi
pertentangan di antara Sy’iah Rafidhah. Yang pertama seolah-olah cenderung
kepada Maturidi, yang kedua pada Jahmiah dan yang ketiga pada Mu’tazilah?
Mengapa terjadi pergeseran nilai teologi dalam masalah Qadar di Syi’ah? Bisa
jadi ini dikarenakan ada pengaruh Mu’tazilah. Kita diberi tahu dari berbagai
buku, bahwa antara Mu’tazilah dan Syi’ah ternyata memiliki hubungan yang erat
sekali. Konon, Ja’far al-Shadiq adalah guru Washil bin Atha. Selain itu,
sebagaimana disebutkan Fazlur Rahman, terjadi perubahan di Syi’ah setelah
mereka kemasukan peninggalan Mu’tazilah pada abad ke-4/10. Apalagi setelah
kemenangan –pada abad ke-12/18– kaum-kaum ushul. Pada abad 7/13 ilmuwan dan
filosof-teolog Syi’ah Nasir al-Din al-Tusi dan muridnya Ibnu al-Mutakhar
al-Hilli menulis pengantar filsafat ke dalam teologi Syi’ah. Filsafat yang
diformulasikan dengan teologi dalam Islam banyak dilakukan oleh Mu’tazilah.
Semenjak itu, Syi’ah mengadopsi pandangan spiritual tentang hakikat Tuhan,
menafsirkan pernyataan antropomorphis terhadap al-Quran dan Hadits ala
Mu’tazilah. Ajaran Qadar pun berkembang lebih jauh di Syi’ah mirip dengan
konsep Mu’tazilah.
Pandangan
Ibnu Taimiyah
Ibnu
Taimiyah adalah tokoh refresentatif Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Karenanya,
menarik untuk mengetahui pandangan dia terhadap free will dan predestination.
Sementara Syaikh Shalih bin Fauzan adalah ulama khalaf yang concern dan
capable di bidang Aqidah. Namun, pernyataan Shalih bin Fauzan di sini
hanyalah kutipan penulis dari edisi terjemahan Tim Ahli Tauhid. Bagi Ibnu
Taimiyah, baik Asy’ariyah maupun Mu’tazilah telah melakukan kekeliruan dan
menyalahi mayoritas muslim seperti para imam empat dan para ulama salaf.
Asy’ariyah hanya menegaskan irada (kehendak Allah), tetapi tidak
menegaskan kebijaksanannya. Asy’ariyah hanya menegaskan segala kehendak Allah
tanpa menegaskan kemurahan, cinta dan ikhlas. Begitu juga dalam perbuatan,
mereka [Asy’ariyah dan filosof] menganggap semua makhluk sama di hadapanNya,
tetapi tidak membedakan antara kehendak, cinta dan syukur. Tidak hanya para
filosof, Ibnu Taimiyah juga sangat mengacam teolog dan sufi. Menurutnya, mereka
telah melakukan kekeliruan. Mereka sebenarnya mengambil posisi yang jauh lebih
buruk daripada Mu’tazilah dan lainnya yang mendukung qadar (free will).
Sebenarnya, orang-orang pendukung free will ini menyertakan kepentingan
yang besar terhadap perintah dan larangan, janji dan ancaman, ta’at pada Allah
dan RasulNya, dan menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk. Namun, kata
Ibnu Taimiyah, Mu’tazilah tersesat dalam masalah qadar. Mereka
[Mu’tazilah] salah mempercayai bahwa jika mereka menegaskan kehendak kreatif Tuhan
yang universal, segala kekuasaan dan kreativitasNya terhadap segala sesuatu itu
berakibat penghinaan yang tak bisa disetujui terhadap keadilan dan
kebijaksananNya. Mereka telah melakukan kesalahan dalam keyakinan. Sedangkan
para teolog dan sufi, semuanya menegaskan kemahakuasaan Tuhan. Mereka
betul-betul percaya bahwa Tuhan adalah maha segalanya dan maha memiliki dan apa
pun yang Ia kehendaki tidak akan terjadi. Semua ini, kata Ibnu Taimiyah, baik
dan benar. Tetapi mereka kurang dalam perintah dan larangan Tuhan; janji dan
ancaman. Beberapa di antara mereka ada yang berlebihan, menjadi ekstrim dan
terjebak dalam persoalan bid’ah.
Kenyataannya, mereka menjadi mirip
dengan musyrik yang mengatakan: “Jika Tuhan menghendaki niscaya kami dan
bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak pula kami mengharamkan
sesuatu apa pun (Qs. 6: 148). Bagi Ibnu Taimiyah, orang yang menegaskan
kekuasaan Tuhan kemudian menjadikannya sebagai sebuah pendapat untuk
menghilangkan perintah dan larangan Tuhan, lebih buruk daripada orang yang
hanya menegaskan perintah dan larangan, tetapi tidak menegaskan kekuasaan
Tuhan.
Lalu
bagaimana sikap atau pandangan Ibnu Taimiyah terhadap masalah ini? Bagi Ibnu
Taimiyah sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman, predeterminisme, boleh;
tetapi menggunakannya sebagai argument untuk menjelaskan atau menutupi
perbuatan dosa, itu tidak boleh. Bagi Ibnu Taimiyah, masalah determinisme
sebagai determinisme Tuhan yang komprehensif, merupakan obyek keyakinan dan
bukan dasar dari suatu perbuatan. Untuk memahami pernyataan itu, mungkin contoh
berikut akan memudahkan kita memahaminya. Makalah saya ini bisa selesai dan
rampung seperti sekarang ini, adalah merupakan kehendak Allah. Tetapi sampai
makalah ini benar-benar terjadi, benar-benar beres, saya tidak tahu apa
kehendak Allah dengan makalah saya ini. Oleh karenanya, atribusi saya untuk
perbuatan saya atau perbuatan apa pun tidak dapat secara tepat dihubungkan pada
Allah sampai itu menjadi masalah yang telah berlalu. Semua yang telah
ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah yang diketahui olehNya. Allah
tidak pernah menciptakan kejelekan yang murni, yang tidak melahirkan
kemaslahatan. Maka kejelekan dan keburukan tidak dinisbatkan kepadaNya dari
sudut pandang sebagai keburukan yang murni, tetapi ia masuk dalam renteten
makhluknya. Segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah adalah keadilan,
hikmah dan rahmat. Maka keburukan murni tidak termasuk kedalam sifat Allah dan
tidak juga de dalam perbuatanNya. Dia memiliki kesempurnaan mutlak. Hal ini ditujukkan
dalam firmanNya: yang artinya. “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah
dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dari
sendiri” (An-Nisa: 79).
Maksud
(ayat itu) adalah segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima manusia adalah
berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang menimpanya adalah karena dosa dan
kemaksiatannya. Tidak sorang pun bisa lari dari takdir yang telah ditetapkan
Allah subhanahu wa ta’ala pencipta manusia. Tidak ada yang terjadi di
dalam kerajaanNya ini melainkan apa yang dia kehendaki, dan Allah tidak
meridhai kekuturan untuk hambaNya. Dia telah menganugerahi manusia kemampuan
untuk memilih dan berikhtiar. Maka segala perbuatannya adalah terjadi atas
kemampuannya dan kemauannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki karena hikmahNya. Tidak ditanya tentang amal perbuatan mereka. Dari
pemaparan di atas, jelaslah bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam masalah qadar.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak pernah menyuruh umatnya untuk menyalahkan
nasib, berdiam diri menghadapi hidup ini. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah justru
menyuruh umat Islam untuk melakukan berbagai aktifitas dan bertanggung jawab
terhadap apa yang dilakukannya. Jadi tidak benar jika teologi Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah dalam masalah qadar menjadi penyebab mundurnya peradaban
Islam, menjadi penyebab mundurnya umat Islam. I’maluu faiinnahu kullu
muyassarun, ikhrish ‘alaa ma yanfa’uka wa laa ta’juz. Wallahu Muwafiiq ilaa
Aqwam al-Thariq. Sebagaimana
dijelaskan para sejarawan Muslim, Qadariyah merupakan aliran yang didirikan
oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghilan al-Dimsyaqi. Ma’bad merupakan orang yang ikut
serta dalam pemberontakan terhadap Ibnu al-Ash’ath. Karena inilah, dia diadili
pemerintahan Abdul Malik dan dieksekusi mati karena mempunyai paham Qadariasme.
Menurut Fazlur Rahman, sangat mungkin ia dieksekusi mati dikarenakan paham
Qadariyahnya dijadikan dalih untuk memberontak. (Fazlur Rahman, Op,Cit,
hal. 58-59) keterangan serupa diberikan Harun Nasution. Menurutnya, Ma’bad
ikut lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, Gubernur
Sijistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. (Teologi Islam, hal.
34) Sedangkan Ghilan al-Dimsyaqi dieksekusi mati di bawah pimpinan Umayyah
Hisyam bin Abdul Malik. Dia mati dikarenakan hal yang sama, yakni masalah
politik. Dia juga dituduh menyebarkan propaganda melawan pemerintahan ketika di
angkatan darat pada sebuah ekspedisi di Armenia. (Gelombang Perubahan dalam
Islam, hal. 58) Data ini menjadi bukti untuk mengatakan Qadariyah sebagai
aliran teologi yang cenderung pada politik, bukan aliran pemikiran murni. Bukan
sebagai sebuah Madzhab. Sementara Jabariyah, ada yang menarik di sini. Fazlur
Rahman berbeda dalam hal ini dengan Harun Nasution. Al-Jad bin Dirham yang oleh
Harun Nasution dikatakan sebagai peletak dasar Jabariyah (Teologi Islam, hal.
35), oleh Fazlur Rahman disebut sebagai pendukung Qadariyah. (Gelombang
Perubahan dalam Islam, hal. 58). Saya buka bukunya al-Syahratsani, ketika
membahas Jabariyah, beliau tidak menyebut al-Jad bin Dirham. Syahratsani justru
memasukan Jahm bin Sofyan dalam urutan utama tokoh Jabariyah. (lihat al-Imam
Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal,
al-Juz al-Awwal, Tahqiq. Al-Ustad al-Syaikh Ahmad Fahmi Muhammad, Dar
al-Surur, Bairut, Libanon: 1368 H/1948, Cet. I, hal. 112-113). Namun, kendati
Fazlur Rahman dan Harun Nasution berbeda, data dari Fazlur Rahman menarik untuk
kita ketahui. Menurut Rahman, al-Jad bin Dirham mempunyai hubungan dekat dengan
cucu Marwan, Marwan bin Muhammad. Bahkan al-Jad bin Dirham ini adalah guru
pribadi Marwan bin Muhammad. Cucu Marwan ini kata Fazlur Rahman adalah pengikut
al-Jad bin Dirham. Pengaruh dia terhadap Marwan bin Muhammad sungguh begitu
banyak. Marwan bin Muhammad sendiri adalah gubernur Jazira yang kemudian
menjadi khalifah terakhir bani Umayyah. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal.
59). Jika kita menerima al-Jad bin Dirham sebagai pendiri Jabariyah, maka kita
bisa menyimpulkan bahwa paham ini cenderung pada gerakan politik. Paham ini
menjadi legitimasi politik Bani Umyyah. Mu’tazilah, sebagaimana dikatakan
Fazlur Rahman, merupakan madzhab [aliran pemikiran murni], bukan aliran
politik. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 57). Mereka, kata
Rahman, tidak seperti Khawarij. Mereka diam dalam masalah politik karena mereka
hanyalah aliran pemikiran. (ibid, hal. 64). Memang para tokoh Mu’tazilah
pada awalnya tidak pernah aktif dalam dunia politik. Al-Manshur misalnya,
pernah mengajak Ibnu Ubaid dan kelompoknya yang berfaham Mu’tazilah untuk
membantunya membantu pemerintahan. Namun mereka menolaknya. ( Dr. Afif
Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Tela’ah Atas Metode dan Pemikiran
Teologi Sayyid Quthb, Pena Merah, Bandung: 2004, Cet. I, hal. 16. ). Akan
tetapi, pada akhirnya Mu’tazilah juga terseret juga dalam masalah politik,
terutama pada masa Abbasiyyah. Bahkan mereka pernah dijadikan Madzhab resmi
Negara oleh al-Ma’mun. Orang Mu’tazilah biasanya memakai kalimat yahluqu
(menciptakan) terhadap perbuatan manusia. Namun, disni penulis merasa ada
kerancuan; sebenarnya kata apa yang digunakan al-Qadh Abd al-Jabbar? Apakah ini
kesalahan Harun Nasution dalam mengartikan? Atau memang, Abd al-Jabbar sendiri
yang memakai kata itu. Jika Abd al-Jabbar sendiri yang memakai kata itu,
berarti ini bertentangan dengan pendapat mayoritas tokoh Mu’tazilah. Sebab,
jika dikatakan menghasilkan, berarti ada sesuatu yang mendorong sesuatu itu
dihasilkan. Jika dikatakan daya manusialah yang menciptakan perbuatan, ini juga
aga rancu, sebab Abd al-Jabbar juga menyatakan daya itu bersifat baharu.
Artinya daya juga diciptakan. Namun, seandainya Abd al-Jabbar meyakini bahwa
daya yang baharu itu diciptakan oleh manusia bukan oleh Tuhan seperti yang
dikatakan Harun Nasution, kerancuan itu bisa hilang. Kalimat wajib yang dipakai oleh Mu’tazilah
telah menjebaknya kepada pengurangan kehendak Mutlak Allah. Jika dikatakan
“Allah wajib…” artinya di sini Mu’tazilah telah memaksakan kategori manusianya
sendiri di atas Tuhan yang harus melakukan ini dan tidak melakukan itu.
Padahal, penurunan wahyu, petunjuk, aturan dan mengirim rasul-rasul-Nya adalah
merupakan rahmat dan hikmah Allah swt. Kaum mu’tazilah dalam sistem teologi
mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas,sudah barang
tentu menganut paham qodariyah atau free will dan memang mereka disebut kaum
qadariyah.
Al jubba’I menerangkan bahwa manusialah
yang menciptakan perbuatan-perbuatan nya manusia berbuat baik dan buruk,patuh
dan tidak patuh kepada tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Selanjutnya
perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia jika seseorang ingin
berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya jika seseorang tidak
ingin berbuat sesuatu itu tidak terjadi.
Ditegaskan oleh asy ari sendiri adalah
“tuhan” : dan selanjutnya dalam kedua hal itu manusia hanya merupakan tempat
berlakunya perbuatan-perbuatan tuhan ditegaskan al asy ari sendiri dalam soal
perbuatan-perbuatan involunter.argumen asy ari bahwa al kasb tidak bias terjadi
kecuali melalui daya yang diciptakan dalam diri manusia pada hakikatnya
mengandung arti bahwa disini pun diperlukan tempat jasmani untuk berlakunya
perbuatan-perbuatan tuhan. Ada perbedaan persepsi diantara paham teologi Islam
menegenai “kemuan dan daya untuk berbuat.” Kaum Asy’riah berpenapat bahwa
kemuan dan daya berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri
(perbuatan Tuhan bukan perbuatan manusia). Sedangkan menurut paham al-maturidi
menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu daya
manusia, sepeti dijelaskan Mu’tazilah. Kebebasan dan kekuasaan manusia
sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. kebebasan manusia sebenarnya
hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya hal ini
perlu ditegaskan karena paham qodariyah bias di salahartikan mengandung paham,
bahwa manusia adalah bebas sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan
tuhan yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar