Senin, 11 Juni 2012

Makalah Tentang Free Will & Predestination

BAB II PEMBAHASAN
FREE WILL DAN PREDESTINATION



A.   QADARIYAH
          Secara Etimologi kata Qadariyah berasal dari kata “ qadara “ yang berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Para ahli berbeda pendapat mengenai kapan munculnya aliran Qadariyah dan tentang kapan munculnya aliran ini tidak dapat di ketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan paham khawarij. Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri, baik atau buruk. Hal ini terlihat dalam pokok pikiran Qadariyah yang lebih menekankan pada kebebasan dan kekuatan manusia dalam menentukan atau mewujudkan perbuatan - perbuatannya tanpa ada campur tangan Tuhan.  Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya, paham ini dikenal juga dengan free will ·:  Tokoh utama aliran ini adalah Mabad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi , kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar, namun keduanya juga mati terbunuh. Konsepsi tentang perbuatan manusia pada zaman dahulu pernah menjadi perdebatan yang begitu hebat di dunia Islam. Begitu hebatnya perdebatan itu, sehingga mengakibatkan pembunuhan terhadap para aktifisnya. Seperti yang dialami oleh Mabad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi yang menyebar luaskan paham free will. Dalam ranah pemikiran Islam perbuatan manusia di interpretasikan oleh dua aliran yang paradoks. Pertama, ada yang memandangnya sebagai kehendak bebas manusia. Bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu adalah diciptakan manusia sendiri. Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan,  dia bisa lakukan. Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia bisa saja untuk tidak melakukannya.http://senaru.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif Kedua, bagi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah swt. Bagi kelompok ini, manusia tidak bisa berbuat apa-apa, manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah dikendalikan Allah swt. Aliran pertama ini, dalam pemikiran Islam dikenal dengan sebutan Qadariyah. Sementara yang kedua disebut Jabariyah. Aliran Qadariyah lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan - perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
                   
1.        SEJARAH LAHIRNYA QADARIYAH
          Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H ( 689M ). Ajaran - ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu·tazilah. Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt. Tokoh utama Qadariyah ialah Ma·bad al -  Juhani dan Ghailan al - Dimasyqi, kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar.  Semasa hidupnya,  Ma·bad al - Juhani berguru pada Hasan al Basri,  sebagaimana Washil bin Atha· ; tokoh pendiri Mu·tazilah, Jadi, Ma’badtermasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus.  Ia seorang ahli pidato sehingga banyak  orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula ( pembantu ) Utsman bin Affan. Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma·bad al – Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan al - Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al - Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik ( 105 - 125 H / 724 - 743 M ), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan selalu gigih dalam menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus sehingga mendapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis sekitar tahun ( 717 - 720 M ). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan digantioleh Yazid II ( 720 - 724 M )  
          Ditinjau dari segi politik,  keberadaan Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah sebab dengan paham yang diseberluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan bertanggung  jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti Bani Umayyah yang negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda dengan paham Murji’ah yang menguntungkan pemerintah. Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam paham Mu’tazilah.

 2.   POKOK – POKOK PAHAM QADARIYAH
                 Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya. Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.    Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran adalah sunnatullah. Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram. Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah.  Di antara dalil  yang mereka gunakan adalah banyak ayat - ayat Al-quran yang berbicara dan mendukung paham itu :
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt ÇÍÉÈ  
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB
ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÏÎÈ  
Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î 3
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan ( Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merubah sebab - sebab kemunduran mereka.) yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
                 Menurut Harun Nasution yang dikutip dari pernyataan Ghailan bahwa dengan adanya paham Qadariyah  ini dapat membuat manusia menjadi lebih kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, selalu ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

B.   JABARIYAH
                 Secara Bahasa Jabariyah berasal dari kata “ jabara “  yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Aliran muncul di masa Pemerintahan Bani Umayyah berkuasa, kondisi sosiologis masyarakat sangat mendukung sehingga kelompok ini muncul. Faham ini dikenal dengan sebutan  Fatalism atau  Predestination
                 Menurut  Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
          Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm ibn Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara. Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalism / predestination

1.    SEJARAH LAHIRNYA JABARIYAH
                 Kaum Jabariyah diduga lebih dahulu muncul dibandingkan dengan kaum Qadariyah, karena Jabariyah nampaknya sudah dapat diketahui secara jelas ketika
Mu·awiyah Ibn Ali Sofyan ( 621 H ) menulis sebuah surat kepada al Mughirah ibn Syu·bah ( salah seorang sahabat Nabi )  tentang doa yang selalu dibaca Nabi, lalu Syu·bah menjawab bahwa doayang selalu dibaca setiap selesai shalat adalah yang artinya sebagai berikut  :
 “ Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu baginya, Ya Allah tidak adasesuatu yang dapat menahan apa - apa yang Engkau telah berikan,  tidak berguna kesungguhan semuanya bersumber dari-Mu´
( H.R Bukahri )
Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti keterpaksaan artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah fatalism atau predestination yaitu ( segalanya ditentukan oleh Tuhan ) Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia sangat dominan, karena segala perbuatan manusiatelah ditentukan semula oleh Tuhan.  Adapun tokoh utama munculnya paham Jabariyah ada dua orang yakni : Ja·ad Ibn Dirham ( wafat 124 H ) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham in disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.  Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah( Iraq ). Aliran ini lahir di Tirmiz ( Iran Utara ) dan Jahm ibn Shafwan pada waktu itu terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudahditerima oleh orang lain. Perlu dicatat bahwa Jahm ibn Shafwan juga mempunyai hubungan kerja dengan al Harits ibn Suriah yakni sebagai sekretarisyang menentang kepemimpinan Bani Umayyah di Khurasan.  Perlawanan al Harits dapat dipatahkan, sehingga ia sendiri dijatuhi hukuman mati pada tahun  ( 128 H /  745 M )
          Sementara itu Jahm Ibn Safwan  diperlakukan sebagai tawanan yang pada akhirnya juga dibunuh. Pembunuhan pada dirinya bukan karena motif mengembangkan paham Jabariyah, tetapi karena keterikatannya dangan pemberontakan melawan pemerintahan Bani Umayyah bersama dengan al Harits.
 Pembunuhan Jahm Ibn Shafwan kurang lebih dua tahun setelah kematian al Harits yakni pada ( 747 M ), yang pada saat itu pemerintah Bani Umayyah dipimpin oleh Khalifah Marwan bin Muhammad (  744   750 M )

2.    POKOK – POKOK PAHAM JABARIYAH
          Pokok – Pokok paham ajaran Jabariyah sangat bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut paham Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat  yang dilakukannya.
Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa. Dalam Al-quran sendiri banyak terdapat ayat - ayat yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya adalah:
a. QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur öä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Artinya : “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”
b. QS al-Anfal: 17
öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB
¹äIxt $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ  
Artinya : “ Maka ( yang sebenarnya ) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. ( Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka ) dan untuk memberi kemenangan kepada orang - orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
c. QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ  
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
       Selain ayat-ayat Al-quran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.      Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.       Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan ( menuju perang siffin ) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan
tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.      Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.
  Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
     Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. Pokok – pokok ajaran mazhab Jabariyah sendiri dibagi menjadi dua aliran, yaitu :


a. Aliran Ekstrim         
                 Di antara tokoh penganut aliran ekstrim jabariyah ini adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.  Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah. Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal. Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.

2.  Aliran Moderat                   
            Ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar ( tokoh jabariayah moderat lainnya ) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.

C.   Free-will dan Predestination
          Mungkin terbersit pertanyaan, apa hubungannya free will dan Predistintion dengan Qadariyah dan Jabariyah, sehingga kedua aliran tersebut dijadikan acuan dalam pendahuluan. Menurut Harun Nasution yang kemudian diikuti Dr. Hasan Zaini, Qadariyah dalam isitlah inggrisnya dikenal dengan nama free will, sedangkan Jabaiyyah dikenal dengan sebutan predestination atau fatalism. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat sekali antara istilah-istilah itu. Namun, disini yang akan dibicarakan bukan mengenai kedua aliran itu  melainkan nilai dan fahamnya. Lagi pula, baik Qadariyah ataupun Jabariyah keduanya itu lebih cenderung merupakan kelompok politik ketimbang aliran pemikiran murni (Madzhab).   Menurut kalangan rasionalis Islam, yang dimotori Mu’tazilah, manusia mempunyaidaya yang besar lagi bebas. Mu’tazilah sebagaimana dikatakan al-Syahratsani, bersepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatan-perbuatannya, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Karenanya, manusia, menurut mereka, berhak mendapatkan upah dan siksaan terhadap apa yang dilakukannya di akhirat nanti. Tuhan itu bersih dari penyandaran keburukan dan kedzaliman, dari kekufuran dan kemaksiatan. Seandainya kedzaliman itu diciptakan Tuhan, berarti Dia dzalim. Paham Mu’tazilah yang memberikan kebebasan dan berkuasanya manusia, akan lebih jelas lagi jika kita merujuk pernyataan para tokohnya. Wasil bin Atha misalnya. Dalam masalah ini, pendiri Mu’tazilah ini banyak persamaan dengan Ma’bad al-Juhani dan Ghilan al-Dimsyaqi. Menurut Wasil bin Atha, Allah swt itu adil. Tidak boleh menyandarkan kejelekan dan kedzaliman kepadaNya, dan tidak boleh ( Dia ) berkehendak agar hambanya menyelesihi perintahNya. Tuhan harus mengadili mereka kemudian membalas mereka atas perbuatan-perbuatannya. Maka hamba, kata Washil bin Atha, adalah yang mengerjakan kebaikan dan keburukan. Begitu juga iman, kufur, ta’at dan ma’siat itu pilihan manusia.  Senada dengan Washil, al-Juba’I juga mempunyai pandangan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kemauannya sendiri. Dan daya ( al-Isthitha’ah ) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Begitu juga dengan al-Qadh Abd al-Jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Tetapi, manusia sendirilah yang mewujudkannya. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih. Tuhan, menurut Abd al-Jabbar, tidak akan menyiksa atau memberi pahala kepada seseorang berdasar kehendak mutlak-Nya, tetapi karena amal yang dilakukannya.
          Dalam pengertiannya sebagai suatu tindakan, amal yang dilakukan seseorang terjadai karena pilihan bebasnya. Karena itu, menjai mukmin atau kafir bukanlah ditetapkan oleh kehendak mutlak Tuhan, tetapi merupakan pilihannya sendiri. Akan tetapi, agar pilihan tersebut berjalan adil pula, Allah wajib menurunkan  petunjuk, aturan, dan mengirim nabi-nabi dengan membawa peringatan. Jika semua itu telah diberikan Tuhan, maka manusia dipersilahkan memilih menjadi iman atau kafir.  Dari beberapa keterangan tokoh Mu’tazilah di atas, jelaslah bahwa manusia dalam pandangan Mu’tazilah adalah pencipta perbuatannya. Kehendak berbuat adalah kehendak manusia. Jika kita perhatikan, pandangan Mu’tazilah dalam masalah ini hamper mirip, untuk tidak mengatakan sama, dengan pandangan Qadariyah. Karenanya, tidaklah mengherankan jika ada yang menyebut Mu’tazilah itu adalah Qadariyah. Bahkan Fazlur Rahman menyebut Mu’tazilah sebagai aliran bentukan dari pengembangan Qadariyah. Meskipun demikian, sebenarnya dari awal Mu’tazilah menolak stigma tersebut. Sebagaimana disebut Syahratsani, bagi Mu’tazilah sebutan Qadariyah itu lebih tepat diberikan kepada orang yang percaya Qadar Tuhan, baik dan buruknya. Sedangkan Mu’tazilah itu menganut paham ikhtirariyyah (pilihan bebas). Kembali pada kehendak manusia. Menurut Harun Nasution, dari pemaparan para tokoh Mu’tazilah di atas, tidak dijelaskan apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah juga daya manusia sendiri, bukan daya Tuhan. Dalam hubungan ini, demikian Harun Nasution, perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu dan kemudian barulah terwujud perbuatan. Harun kemudian menyimpulkan, bahwa bagi Mu’tazilah ternyata daya untuk mewujudkan itu adalah daya manusia bukan daya Tuhan. Ini bisa dilihat dari pernyataan Abd al-Jabbar sendiri. Menurutnya, yang dimaksdu dengan “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” ialah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan yang telah dibuat manusia. Tidaklah mungkin bahwa Tuhan dapat mewujudkan perbuatan yang telah diwujudkan manusia. Untuk mendukung pendapatnya ini, al-Jabbar kemudian memberikan argument rasional. Manusia, kata al-Jabbar, dalam berterima kasihnya kepada manusia atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat baik itu pula. Demikian pula, dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan  tidak baik yang diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya  kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu.
          Lebih lanjut lagi ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesame manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia , perbuatan itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat dzalim. Hal ini tidaklah mungkin, tidak bisa diterima akal. Abd al-Jabbar tidak hanya menyodorkan argument rasional, tetapi dia juga menggunakan argument naqliyah (al-Quran) untuk menguatkan pendapatnya. Dalil Naqliyyah yang dipakai Abd al-Jabbar dan kebanyakan Mu’tazilah di antaranya adalah; Qur’an Surat. al-Baqarah ayat 108 :
÷Pr& šcr߃̍è? br& (#qè=t«ó¡n@ öNä3s9qßu $yJx. Ÿ@Í´ß 4ÓyqãB `ÏB ã@ö6s% 3 `tBur ÉA£t7oKtƒ tøÿà6ø9$# Ç`»oÿM}$$Î/ ôs)sù ¨@|Ê uä!#uqy È@Î6¡¡9$# ÇÊÉÑÈ  
Artinya : “ Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu? dan Barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, Maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus “.
Qur’an Surat Ali Imran ayat 133 :

* (#þqããÍ$yur 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB öNà6În/§ >p¨Yy_ur $ygàÊótã ßNºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur ôN£Ïãé& tûüÉ)­GßJù=Ï9 ÇÊÌÌÈ  
Artinya : “ dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa “
Qur’an Surat  an-Nisa ayat 7 :

ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  
Artinya : “ bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan “.
              Begitulah pandangan Mu’tazilah tentang kehendak dan perbuatan manusia. Bagi Mu’tazilah perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi adalah perbuatan manusia sendiri, dan seperti kata Asy’ari, perbuatan manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kata kiasan. Dengan kata lain, manusia adalah pencipta (khaliq) perbuatan-perbuatannya. Ini jelas sekali bertentangan dengan Ijma’ ulama tentang tidak adanya pencipta kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Karena inilah, lawan-lawannya menuduh mereka mempunyai paham syirik atau polytheisme. Bahkan al-Asy’ari dan al-Maturudi menuduhnya tidak lagi membutuhkan Tuhan. Berbeda dengan Mu’tazilah, al-Asy’ari, kata Harun Nasution, memandang lemah manusia. Karenanya, al-Asy’ari lebih dekat kepada paham Jabariyah. Manusia dalam kelamahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kewamauan dan kekuasan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-Kasb (acquisition, perolehan).  Dalam kitabnya al-Maqalat, sebagaimana dikutip Harun Nasution, Arti al-kasb menurut al-Asy’ari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Di kitabnya yang lain, al-Luma, al-Asy’ari juga memberi penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-Kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-Muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan. Tentang teori al-Asy’ari di atas, Harun Nasution memberi komentar. Menurutnya, term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung arti kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kata-kata timbul dari yang memperoleh membayangkan kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian tangggung jawab manusia atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa kasb itu adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Pendapat al-Asy’ari seperti di atas, dapat dilihat dari urainnya mengenai perbuatan-perbuatan involunter dari manusia. Dalam perbuatan-perbuatan involunter, kata al-Asy’ari, terdapat dua unsure; ( pertama ) penggerak yang mewujudkan gerak dan ( kedua ) badan yang bergerak. Penggerak dalam hal ini maksudnya adalah Tuhan, sedangkan yang bergerak maksudnya adalah manusia. Yang bergerak bukanlah Tuhan, sebab, gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani, sedangkan Tuhan tidak mempunyai bentuk jasmani. Dari sinilah kemudian al-Asy’ari mengemukakan teori kasbnya. Menurutnya, al-Kasb juga serupa dengan gerak involunter, yakni mempunyai dua unsure; ( pertama ) pembuat ( Tuhan ) dan ( kedua ) yang memperoleh perbuatan (manusia).
          Pembuat yang sebenarnya dalam kasb adalah Tuhan, sedangkan yang memperoleh perbuatan adalah manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan, karena kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan, dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan. Menurut Harun Nasution, jika dilihat uraian al-Asy’ari di atas, jelaslah sebenarnya tidak ada perbedaan antara perbuatan involunter dan al-kasb. Dua-duanya merupakan dari Tuhan. Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Manusia hanyalah sebagai tempat mewujudkan dan berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Jika demikian, kata Harun, kasb, sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan involunter, merupakan perbuatan paksaan dan perbuatan di luar kekuasaan Tuhan. Namun, bagi al-Asy’ari, demikian Harun Nasution, kadua hal itu berbeda. Dalam perbuatan involunter, manusia terpaksa melakukan sesuatu yang tidak dapat dielakkannya, walau bagaimanapun ia berusaha, namun dalam al-kasb paksaan yang demikian tidak teradapat.. Gerak manusia yang berjalan pulang pergi berlainan dengan gerak manusia yang menggigil karena demam. Meskipun keduanya sama-sama mengandung unsur gerak, namun tetap saja berbeda. Dalam hal yang pertama terdapat daya yang diciptakan, sedangkan dalam hal yang kedua terdapat ketidakmampuan. Karena dalam hal pertama teradapat daya, kata Asy’ari, perbuatan itu tidak dapat disebut paksaan; kepadanya diberi nama al-kasb. Begitupun, kedua perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan.
          Di sini belum jelas, daya yang menyebabkan manusia mewujudkan perbuatan itu apakah bersatu dengan diri manusia atau tidak? Apakah daya itu ada sebelum perbuatan atau ada bersama-sama perbuatan? Menurut al-Asy’ari, daya itu lain ( berpisah ) dari diri manusia sendiri, karena manusia terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa. Daya tidak terwujud sebelum adanya perbuatan; daya itu ada bersama-sama dengan adanya perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja. Dalam paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya; daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang efektif pada ahirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan. Itu argument-argumen al-Asy’ari secara rasional. Al-Asy’ari menggunakan dalil al-Quran untuk menguatkan teologinya. Alasan al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan didasarkan pada Qs. al-Shaffat  ayat 96 :
ªª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Wa ma ta’malun dalam ayat di atas diartikan al-Asy’ari “dan apa yang kamu perbuat”. Jadi, secara global ayat itu diartikan “Dan Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat”. Dalam edisi al-Quran terjemah Indonesia juga artinya sama seperti itu. Jika merujuk pada kitab tafsir bi al-Maksur, misalnya Tafsir al-Quran al-‘Adzim, karya Ibnu Katsir, maknanya juga hampir sama dengan yang diungkapkan al-Asy’ari. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat Bukhari dalam kitab Af’al al-Ibad yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’aala adalah pencipta setiap pembuat (pekerja) dan perbuatannya (pekerjaannya).
          Namun, karena argument inilah al-Asy’ari banyak mendapat kritikan. Fazlur Rahman misalnya. Dia mengkritik al-Asy’ari baik karena argument naqlinya ini, ataupun teorinya tentang kasb (acquire, memperoleh). Tentang isitlah al-Kasb yang digunakan al-Asy’ari, pernyataan Rahman sangatlah menarik. Menurut Rahman, al-Asy’ari ketika ditanya mengapa ia menggunakan kata acquire daripada kata do berkenaan dengan manusia. Jawaban al-Asy’ari, sebab al-Quran pun begitu. ( padahal ) al-Quran, kata Rahman, tentu, dengan jelas menggunakan kata “do” (fa’ala) dan “perform” (‘amala) berkenaan dengan manusia. Sementara istilah al-Kasb oleh al-Quran agak jarang digunakan.  Al-Quran tampak mengunakan istilah ini ketika ingin menegaskan tidak hanya menunjukkan perbuatan tetapi membangkitkan rasa tanggung jawab terjadap perbuatan manusia, baik atau buruk. Karena itu, demikian Rahman, al-Asy’ari pasti melakukan penekanan terhadap makna al-Quran di sini. Sedangkan mengenai interpretasi al-Asy’ari terhadap Qs. al-Shaffat:96, disini pernyataan Rahman juga sangat menarik. Kata Rahman, interpretasi al-Asy’ari terhadap ayat itu merupakan usaha yang sangat rasional untuk membuktikan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia. ( padahal ) Ini merupakan bagian pembicaraan Ibrahim kepada orang-orang yang menyembah berhala. Saat itu, Ibrahim berkata pada mereka; “Apakah kamu menyembah apa yang kamu bentuk ( pahat )? Jelas, kata Rahman, bahwa ayat ini juga menyatakan bahwa Ia-lah Tuhan yang telah menciptakan kamu dan berhala-berhala yang telah kamu buat itu. Tetapi al-Asy’ari, demikian Rahman, mengganti kata-kata “apa yang kamu buat” dengan kata-kata “apa yang kamu lakukan”. Dalam bahasa Arab, wa maa ta’malun, sangat rentan terhadap dua penafsiran. Tetapi secara jelas, konteks itu melawan interpretasi Asy’ari. Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia. karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia.
           Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain sisi, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa saja memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan hikmahNya. Mungkin perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan memberi takanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah mengorbankan tauhid af’al, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan. Begitulah teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah tentang free will dan predestination. Bagaimana dengan aliran lainnya? Bagi golongan Maturidiyah, perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Manusia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Sebelum berbuat, manusia memiliki kekuatan tertentu, yang termasuk kekuatan fisik dimana ia diberi. Tetapi untuk perbuatan actual, kekuatan alamiah ini disempurnakan dengan kekuatan lain, karena itu perbuatan itu perlu dan dengan serta mengikuti. Kekuatan kedua ini diciptakan oleh Tuhan melalui agen pada saat perbuatan. Pendapat Maturidi tersebut ada kemiripan dengan Asy’ariyah. Namun, substansi keduanya agak berbeda. Bagi Maturidi, yang namanya perbuatan itu ada dua, [pertama] perbuatan Tuhan dan [kedua] perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Jadi tidak sebelum perbuatan seperti dikatakan Mu’tazilah. Perbuatan manusia, bagi Maturidi, adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Pemberian upah dan hokum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan demikian, manusia diberi hukaman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian yang benar dari daya. Menurut Harun Nasution, Al-Maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, seperti dijelaskan Mu’tazilah ataukah daya Tuhan seperti disebut Asy’ariyah. Berpegang kepada pndapatnya bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, daya untuki berbuat itu tak boleh tidak mestilah daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya senidri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu. Kaum Asy’ariyah, karena memandang perbuatan adalah perbuatan Tuhan, tidak berani memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan manusia yang sebenarnya. Mengenai soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahw kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada dibawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya. Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun Bukhara, kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. dan ini selanjutnya mengandung arti paksaan atau fatalisme dan bertentangan dengan paham al-Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini paham masyi’ah atau kemauan dan ridha atau kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan tiadak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan hati Tuhan; sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan. Bagaimana dengan Syi’ah? Sebenarnya agak sulit untuk mengetahui bagaimana pandangan mereka terhadap free will dan predestination. Sebab, mereka sendiri sudah terpecah-pecah dalam berbagai kelompok dan masing-masing mempunyai keyakinan yang berbeda. Namun, pembahasan sepintas secara umum mungkin akan memberi sedikit gambaran pada kita konsepsi mereka tentang masalah ini.
          Al-Asy’ari dalam bukunya, Maqaalaat al-Islamiyyiin  wa ikhtilaf al-Mushallin, menyebutkan beberapa pendapat Syi’ah Rafidhah tentang masalah perbuatan manusia. Sediktinya ada tiga pendapat yang berbeda-beda. Pertama; kelompok pertama ini ialah para pengikut Hisyam bin al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa perbuatan seorang hamba Allah itu diciptakanNYa. Ja’far bin Harb menceritakan, bawa Hisyam bin al-Hakam menyatakan: “sebenarnya dari satu segi perbuatan manusia ini merupakan daya (ikhtiyar) manusia itu sendiri, karena dia itulah yang menghendaki dan mengusahakannya, tetapi dari segi lain perbuatan manusia ini pun merupakan sesuatu yang dipaksakan Allah terhadap dirinya, karena perbuatan manusia itu sebenarnya mustahil terjadi selain dengan adanya sebab yang menggerakkan ataupun mendorong kea rah terjadinya perbuatan manusia tersebut. Pendapatnya ini mirip dengan aliran Maturidiyah. Karenanya, Fazlur Rahman menyebut ide Hisyam bin Hakam ini sebanding dengan pandangan Maturidi. Kedua; kelompok ini beranggapan bahwa manusia itu tidak bebas dan selalu dalam keadaan terpaksa, sebagaimana anggapan para pengikut aliran jahmiyyah, tetapi manusia itu pun tidak boleh hanya berserah diri saja, sebagaimana anggapan para pengikut aliran Mu’tazilah. Ketiga; yang ketiga ini beranggapan bahwa perbuatan hamba Allah itu bukan diciptakan  Allah. Yang beranggapan seperti ini, kata Asy’ari, muncul dari mereka yang memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan. Yang terakhir ini memiliki kemiripan dengan teologi Mu’tazilah. Menarik untuk ditelusuri mengapa terjadi pertentangan di antara Sy’iah Rafidhah. Yang pertama seolah-olah cenderung kepada Maturidi, yang kedua pada Jahmiah dan yang ketiga pada Mu’tazilah? Mengapa terjadi pergeseran nilai teologi dalam masalah Qadar di Syi’ah? Bisa jadi ini dikarenakan ada pengaruh Mu’tazilah. Kita diberi tahu dari berbagai buku, bahwa antara Mu’tazilah dan Syi’ah ternyata memiliki hubungan yang erat sekali. Konon, Ja’far al-Shadiq adalah guru Washil bin Atha.  Selain itu, sebagaimana disebutkan Fazlur Rahman, terjadi perubahan di Syi’ah setelah mereka kemasukan peninggalan Mu’tazilah pada abad ke-4/10. Apalagi setelah kemenangan –pada abad ke-12/18– kaum-kaum ushul. Pada abad 7/13 ilmuwan dan filosof-teolog Syi’ah Nasir al-Din al-Tusi dan muridnya Ibnu al-Mutakhar al-Hilli menulis pengantar filsafat ke dalam teologi Syi’ah. Filsafat yang diformulasikan dengan teologi dalam Islam banyak dilakukan oleh Mu’tazilah. Semenjak itu, Syi’ah mengadopsi pandangan spiritual tentang hakikat Tuhan, menafsirkan pernyataan antropomorphis terhadap al-Quran dan Hadits ala Mu’tazilah. Ajaran Qadar pun berkembang lebih jauh di Syi’ah mirip dengan konsep Mu’tazilah.

Pandangan Ibnu Taimiyah
          Ibnu Taimiyah adalah tokoh refresentatif Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Karenanya, menarik untuk mengetahui pandangan dia terhadap free will dan predestination. Sementara Syaikh Shalih bin Fauzan adalah ulama khalaf yang concern dan capable di bidang Aqidah. Namun, pernyataan Shalih bin Fauzan di sini hanyalah kutipan penulis dari edisi terjemahan Tim Ahli Tauhid. Bagi Ibnu Taimiyah, baik Asy’ariyah maupun Mu’tazilah telah melakukan kekeliruan dan menyalahi mayoritas muslim seperti para imam empat dan para ulama salaf. Asy’ariyah hanya menegaskan irada (kehendak Allah), tetapi tidak menegaskan kebijaksanannya. Asy’ariyah hanya menegaskan segala kehendak Allah tanpa menegaskan kemurahan, cinta dan ikhlas. Begitu juga dalam perbuatan, mereka [Asy’ariyah dan filosof] menganggap semua makhluk sama di hadapanNya, tetapi tidak membedakan antara kehendak, cinta dan syukur. Tidak hanya para filosof, Ibnu Taimiyah juga sangat mengacam teolog dan sufi. Menurutnya, mereka telah melakukan kekeliruan. Mereka sebenarnya mengambil posisi yang jauh lebih buruk daripada Mu’tazilah dan lainnya yang mendukung qadar (free will). Sebenarnya, orang-orang pendukung free will ini menyertakan kepentingan yang besar terhadap perintah dan larangan, janji dan ancaman, ta’at pada Allah dan RasulNya, dan menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk. Namun, kata Ibnu Taimiyah, Mu’tazilah tersesat dalam masalah qadar. Mereka [Mu’tazilah] salah mempercayai bahwa jika mereka menegaskan kehendak kreatif Tuhan yang universal, segala kekuasaan dan kreativitasNya terhadap segala sesuatu itu berakibat penghinaan yang tak bisa disetujui terhadap keadilan dan kebijaksananNya. Mereka telah melakukan kesalahan dalam keyakinan. Sedangkan para teolog dan sufi, semuanya menegaskan kemahakuasaan Tuhan. Mereka betul-betul percaya bahwa Tuhan adalah maha segalanya dan maha memiliki dan apa pun yang Ia kehendaki tidak akan terjadi. Semua ini, kata Ibnu Taimiyah, baik dan benar. Tetapi mereka kurang dalam perintah dan larangan Tuhan; janji dan ancaman. Beberapa di antara mereka ada yang berlebihan, menjadi ekstrim dan terjebak dalam persoalan bid’ah.
          Kenyataannya, mereka menjadi mirip dengan musyrik yang mengatakan: “Jika Tuhan menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu apa pun (Qs. 6: 148). Bagi Ibnu Taimiyah, orang yang menegaskan kekuasaan Tuhan kemudian menjadikannya sebagai sebuah pendapat untuk menghilangkan perintah dan larangan Tuhan, lebih buruk daripada orang yang hanya menegaskan perintah dan larangan, tetapi tidak menegaskan kekuasaan Tuhan.
Lalu bagaimana sikap atau pandangan Ibnu Taimiyah terhadap masalah ini? Bagi Ibnu Taimiyah sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman, predeterminisme, boleh; tetapi menggunakannya sebagai argument untuk menjelaskan atau menutupi perbuatan dosa, itu tidak boleh. Bagi Ibnu Taimiyah, masalah determinisme sebagai determinisme Tuhan yang komprehensif, merupakan obyek keyakinan dan bukan dasar dari suatu perbuatan. Untuk memahami pernyataan itu, mungkin contoh berikut akan memudahkan kita memahaminya. Makalah saya ini bisa selesai dan rampung seperti sekarang ini, adalah merupakan kehendak Allah. Tetapi sampai makalah ini benar-benar terjadi, benar-benar beres, saya tidak tahu apa kehendak Allah dengan makalah saya ini. Oleh karenanya, atribusi saya untuk perbuatan saya atau perbuatan apa pun tidak dapat secara tepat dihubungkan pada Allah sampai itu menjadi masalah yang telah berlalu. Semua yang telah ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah yang diketahui olehNya. Allah tidak pernah menciptakan kejelekan yang murni, yang tidak melahirkan kemaslahatan. Maka kejelekan dan keburukan tidak dinisbatkan kepadaNya dari sudut pandang sebagai keburukan yang murni, tetapi ia masuk dalam renteten makhluknya. Segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah adalah keadilan, hikmah dan rahmat. Maka keburukan murni tidak termasuk kedalam sifat Allah dan tidak juga de dalam perbuatanNya. Dia memiliki kesempurnaan mutlak. Hal ini ditujukkan dalam firmanNya: yang artinya. “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dari sendiri” (An-Nisa: 79).
          Maksud (ayat itu) adalah segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima manusia adalah berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang menimpanya adalah karena dosa dan kemaksiatannya. Tidak sorang pun bisa lari dari takdir yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala pencipta manusia. Tidak ada yang terjadi di dalam kerajaanNya ini melainkan apa yang dia kehendaki, dan Allah tidak meridhai kekuturan untuk hambaNya. Dia telah menganugerahi manusia kemampuan untuk memilih dan berikhtiar. Maka segala perbuatannya adalah terjadi atas kemampuannya dan kemauannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki karena hikmahNya. Tidak ditanya tentang amal perbuatan mereka. Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam masalah qadar. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak pernah menyuruh umatnya untuk menyalahkan nasib, berdiam diri menghadapi hidup ini. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah justru menyuruh umat Islam untuk melakukan berbagai aktifitas dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Jadi tidak benar jika teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam masalah qadar menjadi penyebab mundurnya peradaban Islam, menjadi penyebab mundurnya umat Islam. I’maluu faiinnahu kullu muyassarun, ikhrish ‘alaa ma yanfa’uka wa laa ta’juz. Wallahu Muwafiiq ilaa Aqwam al-Thariq.  Sebagaimana dijelaskan para sejarawan Muslim, Qadariyah merupakan aliran yang didirikan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghilan al-Dimsyaqi. Ma’bad merupakan orang yang ikut serta dalam pemberontakan terhadap Ibnu al-Ash’ath. Karena inilah, dia diadili pemerintahan Abdul Malik dan dieksekusi mati karena mempunyai paham Qadariasme. Menurut Fazlur Rahman, sangat mungkin ia dieksekusi mati dikarenakan paham Qadariyahnya dijadikan dalih  untuk memberontak. (Fazlur Rahman, Op,Cit, hal. 58-59) keterangan serupa diberikan Harun Nasution. Menurutnya, Ma’bad ikut lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, Gubernur Sijistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. (Teologi Islam, hal. 34) Sedangkan Ghilan al-Dimsyaqi dieksekusi mati di bawah pimpinan Umayyah Hisyam bin Abdul Malik.  Dia mati dikarenakan hal yang sama, yakni masalah politik. Dia juga dituduh menyebarkan propaganda melawan pemerintahan ketika di angkatan darat pada sebuah ekspedisi di Armenia. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 58) Data ini menjadi bukti untuk mengatakan Qadariyah sebagai aliran teologi yang cenderung pada politik, bukan aliran pemikiran murni. Bukan sebagai sebuah Madzhab. Sementara Jabariyah, ada yang menarik di sini. Fazlur Rahman berbeda dalam hal ini dengan Harun Nasution. Al-Jad bin Dirham yang oleh Harun Nasution dikatakan sebagai peletak dasar Jabariyah (Teologi Islam, hal. 35), oleh Fazlur Rahman disebut sebagai pendukung Qadariyah. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 58). Saya buka bukunya al-Syahratsani, ketika membahas Jabariyah, beliau tidak menyebut al-Jad bin Dirham. Syahratsani justru memasukan Jahm bin Sofyan dalam urutan utama tokoh Jabariyah. (lihat al-Imam Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal, al-Juz al-Awwal, Tahqiq. Al-Ustad al-Syaikh Ahmad Fahmi Muhammad, Dar al-Surur, Bairut, Libanon: 1368 H/1948, Cet. I, hal. 112-113). Namun, kendati Fazlur Rahman dan Harun Nasution berbeda, data dari Fazlur Rahman menarik untuk kita ketahui. Menurut Rahman, al-Jad bin Dirham mempunyai hubungan dekat dengan cucu Marwan, Marwan bin Muhammad. Bahkan al-Jad bin Dirham ini adalah guru pribadi Marwan bin Muhammad. Cucu Marwan ini kata Fazlur Rahman adalah pengikut al-Jad bin Dirham. Pengaruh dia terhadap Marwan bin Muhammad sungguh begitu banyak. Marwan bin Muhammad sendiri adalah gubernur Jazira yang kemudian menjadi khalifah terakhir bani Umayyah. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 59). Jika kita menerima al-Jad bin Dirham sebagai pendiri Jabariyah, maka kita bisa menyimpulkan bahwa paham ini cenderung pada gerakan politik. Paham ini menjadi legitimasi politik Bani Umyyah. Mu’tazilah, sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, merupakan madzhab [aliran pemikiran murni], bukan aliran politik. (Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 57).  Mereka, kata Rahman, tidak seperti Khawarij. Mereka diam dalam masalah politik karena mereka hanyalah aliran pemikiran. (ibid, hal. 64). Memang para tokoh Mu’tazilah pada awalnya tidak pernah aktif dalam dunia politik. Al-Manshur misalnya, pernah mengajak Ibnu Ubaid dan kelompoknya yang berfaham Mu’tazilah untuk membantunya membantu pemerintahan. Namun mereka menolaknya. ( Dr. Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Tela’ah Atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, Pena Merah, Bandung: 2004, Cet. I, hal. 16. ). Akan tetapi, pada akhirnya Mu’tazilah juga terseret juga dalam masalah politik, terutama pada masa Abbasiyyah. Bahkan mereka pernah dijadikan Madzhab resmi Negara oleh al-Ma’mun. Orang Mu’tazilah biasanya memakai kalimat yahluqu (menciptakan) terhadap perbuatan manusia. Namun, disni penulis merasa ada kerancuan; sebenarnya kata apa yang digunakan al-Qadh Abd al-Jabbar? Apakah ini kesalahan Harun Nasution dalam mengartikan? Atau memang, Abd al-Jabbar sendiri yang memakai kata itu. Jika Abd al-Jabbar sendiri yang memakai kata itu, berarti ini bertentangan dengan pendapat mayoritas tokoh Mu’tazilah. Sebab, jika dikatakan menghasilkan, berarti ada sesuatu yang mendorong sesuatu itu dihasilkan. Jika dikatakan daya manusialah yang menciptakan perbuatan, ini juga aga rancu, sebab Abd al-Jabbar juga menyatakan daya itu bersifat baharu. Artinya daya juga diciptakan. Namun, seandainya Abd al-Jabbar meyakini bahwa daya yang baharu itu diciptakan oleh manusia bukan oleh Tuhan seperti yang dikatakan Harun Nasution, kerancuan itu bisa hilang.  Kalimat wajib yang dipakai oleh Mu’tazilah telah menjebaknya kepada pengurangan kehendak Mutlak Allah. Jika dikatakan “Allah wajib…” artinya di sini Mu’tazilah telah memaksakan kategori manusianya sendiri  di atas Tuhan yang harus melakukan ini dan tidak melakukan itu. Padahal, penurunan wahyu, petunjuk, aturan dan mengirim rasul-rasul-Nya adalah merupakan rahmat dan hikmah Allah swt. Kaum mu’tazilah dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas,sudah barang tentu menganut paham qodariyah atau free will dan memang mereka disebut kaum qadariyah.
     Al jubba’I menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatan nya manusia berbuat baik dan buruk,patuh dan tidak patuh kepada tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Selanjutnya perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya jika seseorang tidak ingin berbuat sesuatu itu tidak terjadi.
Ditegaskan oleh asy ari sendiri adalah “tuhan” : dan selanjutnya dalam kedua hal itu manusia hanya merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan tuhan ditegaskan al asy ari sendiri dalam soal perbuatan-perbuatan involunter.argumen asy ari bahwa al kasb tidak bias terjadi kecuali melalui daya yang diciptakan dalam diri manusia pada hakikatnya mengandung arti bahwa disini pun diperlukan tempat jasmani untuk berlakunya perbuatan-perbuatan tuhan. Ada perbedaan persepsi diantara paham teologi Islam menegenai “kemuan dan daya untuk berbuat.” Kaum Asy’riah berpenapat bahwa kemuan dan daya berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri (perbuatan Tuhan bukan perbuatan manusia). Sedangkan menurut paham al-maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu daya manusia, sepeti dijelaskan Mu’tazilah. Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. kebebasan manusia sebenarnya hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya hal ini perlu ditegaskan karena paham qodariyah bias di salahartikan mengandung paham, bahwa manusia adalah bebas sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan tuhan yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar